Thursday, July 28, 2016

Safe walking and cycling



Masih satu topik dengan postingan sebelumnya, yaitu peningkatan aktivitas fisik untuk mengurangi prevalensi penyakit tidak menular seperti DM, hipertensi, dislipidemia, dll. Artikel berikut membahas mengenai bagaimana menciptakan lingkungan yang aman untuk berjalan kaki dan bersepeda dengan belajar dari dua negara eropa, Jerman dan Belanda, yang telah sukses menciptakan lingkungan yang aman.
Pucher, J., & Dijkstra, L. (2003). Promoting safe walking and cycling to improve public health: lessons from the Netherlands and Germany. American journal of public health, 93(9), 1509-1516.
Setelah membaca artikel ini, kesan pertama saya adalah luar biasa nyaman pasti hidup di Jerman atau Belanda. Saya belum pernah kesana namun saya bisa membayangkan betapa nyaman dan amannya berjalan kaki dan bersepeda disana, karena pada dasarnya saya kemana-mana naik sepeda atau jalan kaki, atau naik kendaraan umum sehingga bagi saya akan sangat luar biasa jika di Indonesia bisa tercipta lingkungan yang seperti diceritakan oleh penulis di Jerman dan Belanda.
Artikel tersebut secara garis besar berisi perbandingan keamanan lingkungan untuk jalan kaki dan bersepeda di Amerika dengan Jerman dan Belanda. Setelah membaca artikel tersebut, menurut saya kondisi di Amerika tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia (karena kurang lebih budaya dan politik Indonesia berkiblat ke Amerika). Dan juga diceritakan bagaiman kebijakan di Jerman dan Belanda untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi jalan kaki dan bersepeda.
Ada 6 kategori kebijakan yang sudah diterapkan di Jerman dan Belanda yang diceritakan oleh penulis yaitu: fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki dan bersepeda; desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non kendaraan bermotor; lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan; pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota; edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor (pejalan kaki dan pesepeda); dan peraturan yang ketat dan memaksa untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda.
1.    Fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki dan bersepeda: daerah bebas kendaraan bermotor yang luas di semua pusat kota, trotoar yang lebar di kanan kiri jalan, tempat penyeberangan yang jelas dan banyak yang dilengkapi dengan lampu penyeberangan baik di persimpangan atau di pertengahan jalan, jalur sepeda, “jalan sepeda” dimana mobil boleh melintas tapi hak utamanya berada pada pengguna sepeda yang boleh menggunakan semua ruas jalan. Beberapa sebenarnya sudah di Indonesia, namun tidak digunakan dengan semetinya. Trotoar untuk tempat parkir, motor melintasi trotoar, trotoar untuk jualan, kurangnya pemahaman mengenai fungsi zebracross, jalur sepeda yang dipakai kendaraan bermotor, dsb.
2.    Desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non kendaraan bermotor: pembangunan daerah perumahan dengan pusat perbelanjaan dan kantor dirancang dengan jarak yang mampu dicapai dengan berjalan kaki atau bersepeda. Kalau disini rata-rata tempat umum seperti kantor, pusat perbelanjaan, dan tempat umum jaraknya jauh dari lokasi perumahan sehingga mengharuskan penggunaan kendaraan bermotor.
3.    Lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan: di daerah perumahan kecepatan maksimal adalah 30 km/jam. Pengurangan kecepatan ini memungkinkan pengendara menghindari tabrakan dengan pejalan kaki/pesepeda dan juga mengurangi dampak serius jika memang terjadi tabrakan. Di Indonesia ada memang pembatasan kecepatan, tapi jarang dipatuhi.
4.    Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota: daerah bebas kendaraan bermotor, kecepatan maksimal di kota adalah 50 km/jam, tempat parkir terbatas dan mahal, tidak ada tempat parkir di sepanjang jalan. Sudah jelas sangat berbeda dengan di Indonesia dimana tempat parkir sepanjang jalan bahkan sampai naik ke trotoar, batas kecepatan yang tidak dipatuhi.
5.    Edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor (pejalan kaki dan pesepeda): pelatihan mengendarai kendaraan bermotor sangat mahal di Belanda dan Jerman (di Indonesia anak SD belajar sendiri naik motor), sejak usia 10 tahun anak-anak diajari mengenai jalan kaki dan bersepeda yang baik, tidak hanya peraturannya namun juga bagaimana cara menghindari jika ada kendaraan yang berbahaya, bagaiman bereaksi dengan tepat.
6.    Peraturan yang ketat dan memaksa untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda: peraturan lalu lintas di Jerman dan Belanda sangat memihak ke pejalan kaki dan pesepeda. Bahkan jika pejalan kaki/pesepeda ini yang salah, misal tidak mengikuti sinyal/tanda penyebrangan, pengendara kendaraan bermotor hampir selalu kena sebagian kesalahan. Apalagi jika kecelakaan melibatkan anak-anak dan lansia, hampir semua kesalah ditimpakan pada si pengendara kendaraan bermotor. Polisi dan pengadilan selalu manganggap bahwa kendaraan bermotor harus selalu mewaspadai pejalan kaki/pesepeda yang tidak mematuhi aturan. Namun bukan berarti pejalan kaki dan pesepeda tidak memiliki aturan, mereka akan tetap dikenai sanksi dan denda jika melanggar aurannya, seperti menyeberang tidak sesuai rambu-rambu, bersepeda melawan arah, dsb.mereka juga dipaksa untuk tertib agar keamanannya terjaga.
Coba bayangkan jika hal-hal di atas diterapkan di Indonesia. Hidup tentram, jalan aman, bebas macet, terdorong untuk berjalan kaki/bersepeda, aktivitas fisik meningkat, penyakit tidka menular menurun, beban negara untuk biaya kesehatan berkurang, produktivitas masyarakat meningkat. Bahagia sekali hidup ini.
Memang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Jerman dan Belanda saja butuh lebih dari 25 tahun untuk mewujudkan lingkungan ini.
Tahap pertama yang dapat dilakukan menurut saya adalah pengumpulan data yang lengkap dan benar. Berapa jumlah kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dan pesepeda per kilometer atau per perjalanan. Data mengenai perilaku bepergian. Seberapa banyak yang menggunakan kedaraan bermotor? Untuk jarak berapa? Mengapa tidak berjalan kaki atau bersepeda? Hal-hal ini bisa menjadi dasar untuk menentukan arah perbaikan yang ingin dicapai.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor, merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor, merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Sama dengan sebelumnya, untuk berubah terkadang memang harus dipaksa, terpaksa, hingga akhirnya terbiasa.

No comments:

Post a Comment