Friday, July 29, 2016

Being A Responsible Teen

Being a responsible teen (BART) adalah sebuah program prevensi HIV/AIDS berbasis kurikulum yang diprakarsai oleh pemerintah Amerika yang dikhususkan untuk remaja African-american yang tengah menempuh pendidikan sederajat SMP dan SMA. Program BART ini mengkombinasi antara edukasi mengenai HIV dan juga behaviour skills training yang terdiri dari 8 sesi dalam 1 kurikulum yang setiap sesinya berdurasi 90-120 menit. Pada program ini, remaja diajak untuk clarify they own values, berlatih keterampilan sosial, teknis dan sosial melalui diskusi, game, video, presentasi, demonstrasi, role play, pelatihan problem solving, decision making, komunikasi, penggunaan kondom, self-management, dan masih banyak lainnya. Yang diharapkan dari BART ini adalah remaja tidak hanya melek soal HIV/AIDS dengan segala risikonya tapi juga dapat menyebarkan ilmunya ke teman-teman sebayanya dan juga keluarganya.
Berdasarkan evaluasi dari program ini, BART terhitung sukses dan efektif karena berhasil mengurangi frekuensi berhubungan seksual pada remaja yang sexually active, memperlambat onset berhubungan seksual pada remaja yang belum pernah berhubungan seksual sebelumnya, mengurangi angka unprotected sex, menaikkan penggunaan kondom pada hubungan sex, dan juga para remaja menjadi lebih fasih dalam berkomunikasi mengenai sex dan juga mengenai HIV/AIDS dibandingkan dengan remaja yang tidak mengikuti program BART.

Danya Laksita

Referensi:
1. http://www.cdc.gov/hiv/research/interventionresearch/compendium/rr/bart.html#
2. http://www.childtrends.org/?programs=becoming-a-responsible-teen-bart

Poster Gangguan Bipolar

Penderita bipolar seringkali mendapat stigma yang buruk dimasyarakat. Mereka beranggapan orang dengan gangguan mental adalah orang "gila". Menyamaratakan dengan gangguan skizofrenia, apalagi jika ODB ini sering ke psikiater. Masyarakat kita memang belum bisa bebas dari stigma.

Mengapa stigma negatif bisa muncul? Paling mungkin adalah karena ketidaktahuan, kurang nya informasi terkait gangguan bipolar sehingga stigma itu tetap ada. Padahal ODB sangat bisa menjalani aktifitas layaknya orang normal biasa. Sama seperti orang yang pilek, yang sakit hidungnya dan jika bisa dikendalikan pileknya tidak mengganggu aktifitas maka ia tetap bisa beraktifitas.

Oleh karenanya, penting sekali sosialisasi dan edukasi semacam poster dimasyarakat. Mengapa poster/infografik? Tidak banyak biaya yang dihasilkan, bisa mencapai semua kalangan sasaran apalagi jika di posting di media sosial, dan lagi poster bisa menjelaskan lewat gambar sehingga lebih mudah dipahami dan diingat.



(Sumber: pinterest)


(Sumber: Bipolar disorder)


Pada contoh poster diatas, terpampang berbagai informasi singkat tentang Bipolar. Lokasi-lokasi poster tersebut bisa diletakkan dimana saja. Misalnya di praktek dokter umum, Puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan, sekolah-sekolah terutama SMP hingga universitas. Bisa pula ditambahkan kontak yang bisa dihubungi terkait penanganan lebih lanjut jika ada yang ingin berkonsultasi.

Saya rasa sosialisasi lewat poster dengan bahasa yang sederhana adalah contoh termudah untuk mengedukasi masyarakat tentang suatu isu kesehatan termasuk tentang gangguan bipolar.

Andinillahi Raswati



Program penanganan DBD di Indonesia VS Malaysia


Indonesia dan Malaysia memiliki sistem pelaporan kasus DBD yang sama, laporan kasus dilakukan setiap ada warga yang datang ke klinik atau rumah sakit dan didiagnosis mengidap DBD maka dokter/tenaga kesahatan wajib melapor ke dinas kesehatan daerah dalam waktu 24 jam.
          Baik Indonesia maupun Malaysia mempunyai alur yang sama dalam mendiagnosis DBD, akan tetapi di Malaysia jika pasien yang terdiagnosis Dengue dan tidak membutuhkan perawatan intensif di Rumah Sakit maka pasien akan mendapatkan kartu pemantauan demam Dengue. Kartu ini berisi tanda-tanda bahaya Demam Dengue, panduan penjagaan pasien di rumah dan hal-hal yang harus dihindari oleh pasien Dengue. Pasien harus membawa kartu ini setiap kali datang ke klinik atau rumah sakit guna mempermudah penanganan dan pemantauan. Sedangkan di Indonesia pasien akan mendapatkan edukasi mengenai DBD namun tidak ada catatat kusus yang diberikan kepada pasien. 

Alur pelaporan kasus DBD di Indonesia

Kartu Pemantauan DBD



 
Refrensi:
2.       Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue, Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2011

      Novita Sari

n





 

Thursday, July 28, 2016

Kontrol Berat Badan pada Anak dan Remaja dengan Down Syndrome

Pada postingan sebelumnya saya membahas mengenai sebuah artikel mengenai prevalensi overweight pada penderita down syndrome. Pada artikel lain juga disebutkan bahwa prevalensi overweight dan obese pada remaja dengan down syndrome lebih tinggi dibandingkan remaja yang tidak menderita down syndrome. Lalu bagaimana kontrol berat badan pada anak dan remaja dengan down syndrome?

Penyebab overweight pada penderita down syndrome bisa dikarenakan metabolisme yang rendah, pengaturan makan yang buruk, dan aktivitas fisik yang kurang. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani obesitas pada down syndrome yaitu :
● Menurunkan porsi makan
● Memperbanyak makanan-makanan seperti buah, sayur, serat, dan gandum
● Menghindari snack
● Mempunyai pendamping yang dapat mengawasi berat badan penderita down syndrome
● Mengikutsertakan pengawas di tempat kerja atau sekolah untuk ikut dalam program
● Membawa makan siang dari rumah
● Tidak menggunakan makanan sebagai hadiah
● Memperkenalkan olahraga rutin yang sesuai dengan minat dan kemampuan penderita

Jika tidak terdapat komorbid penyakit, maka anak down syndrome dapat menggunakan strategi-strategi dasar yang biasa digunakan orang lain untuk menurunkan berat badan.

Pada anak dan remaja down syndrome, dapat dibuat permainan-permainan yang membantu mereka dalam memilih makanan yang sehat dan membuat mereka beraktivitas fisik.

Selain itu terdapat juga penelitian yang menunjukkan bahwa program diet dan olahraga yang dilakukan dengan dukungan dan peran aktif orang tua terbukti meningkatkan keberhasilan dalam penurunan berat badan dibandingkan program tanpa peran aktif orangtua. Oleh karena itu, program-program tersebut dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani anak dan remaja down syndrome dengan overweight atau obese, akan tetapi pendampingan yang baik, terutama dari orang tua akan sangat membantu keberhasilan program ini.

Referensi :
http://pediatrics.aappublications.org/content/128/2/393
http://www.nchpad.org/165/1281/Down~Syndrome~and~Nutrition
http://www.ndss.org/Resources/Wellness/Nutrition/Recreation-Friendship21/
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0022347613008512
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0891422216301433
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2095254612000786


Dyah Anindya Rani

Mengapa Saya Tertarik/Tidak Tertarik dengan Public Health

Saat pertama mendengar public health yang terlintas dipikiran saya adalah suatu ilmu non klinis, dimana membahas kesehatan dari sisi luar dan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan, peraturan, ataupun kaidah yang mengatur untuk tujuan kesehatan masyarakat yang lebih baik. Tentu saja hal ini sangat krusial dan penting dalam dunia kesehatan. Bayangkan apabila tidak ada peraturan ataupun kebijakan yang mengatur dunia kesehatan, semua pasti akan kacau, sama halnya seperti suatu organisasi yang berjalan tanpa hal tersebut, pasti akan kacau.

Namun, ilmu yang bisa dipelajari oleh seorang dokter umum dalam public health memang cukup abstrak menurut saya, apalagi bila tidak ada contoh yang konkret dan jelas, sehingga butuh usaha belajar yang lebih agar dapat memahaminya. Tentu hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi dokter umum. Seorang dokter umum tetap perlu mengetahui dan memahami ilmu public health karena dalam melaksakan fungsi sebagai dokter umum kelak tidak hanya berkutat pada hal klinis saja.

Kesimpulan saya, bukan tertarik ataupun tidak tertarik, namun kita sebagai dokter umum mau tidak mau pasti akan membutuhkan ilmu public health ini.

Gusti Ari Setyawan

Support Group Penting bagi ODB


Dalam postingan kali ini, saya masih membahas tentang Bipolar Care Indonesia, yaitu sebuah organisasi yang aktif melakukan kegiatan untuk mewadahi orang dengan bipolar (ODB) dan orang yang berkecimpung disekitarnya. Untuk lebih spesifik, saya fokuskan cabang BCI tersebut yang ada di Jogjakarta.

Bipolar Care Indonesia simpul DIY, adalah sebuah perpanjangan tangan dari BCI dan fokus untuk klien yang berdomisili di sekitar DIY. Beberapa kegiatan yang mereka sudah kerjakan bisa kita lihat rekam jejaknya disini.


Salah satu program yang mereka gagas yaitu support group. Tujuan acara ini adalah memberi ruang untuk saling berbagi dan mendukung antara surviver dan caregiver. Dilakukan face to face dan bersifat semiformal. Bisa dilihat dari foto diatas kegiatan dilakukan outdoor, seperti di halaman gedung Graha Sabha Pramana UGM.

Saya pribadi sangat mendukung jenis kegiatan seperti ini. Mengapa? Efek kegiatan nya jelas kepada sasaran kita. Mereka orang dengan bipolar maupun yang sehari-hari membersamai ODB sangat perlu untuk dilakukan dukungan. Mereka perlu saling melihat apa sih yang sudah orang lain capai. Sama-sama memiliki gangguan bipolar bukan berarti mereka hanya perlu sibuk dengan pengobatan, tidak. Namun mereka harus diberi pencerahan pula bahwa kualitas hidup yang meningkat bisa menjadi indikator kesembuhan juga.

Banyak orang bipolar yang tidak paham akan hal diatas. Beberapa pasien yang saya lihat, malah berhenti bekerja dan memilih mengurung diri dirumah untuk fokus pada pengobatan. Apa yang mereka dapat? Justru mereka makin merasa "sakit". Diminta menceritakan apa aktifitas sejak bangun tidur pun, mereka tidak mampu. Tidak memliki harapan untuk sembuh dan bermanfaat. Mereka terkurung dengan self stigma, sudah sakit mental maka tidak bisa merasakan hidup normal lagi. Padahal hal tersebut salah besar. Sulit menangani orang dengan motivasi sembuh yang rendah semacam ini. Dan sayangnya orang seperti ini banyak di masyarakat.

Jika dipaparkan dengan komunitas, maka mereka saya yakin akan lebih tercerahkan. Mereka akan menilai diri dan pastinya termotivasi untuk menjadi lebih dari saat ini. Pengidap bipolar pun tetap bisa hidup bermanfaat, menulis buku, bekerja, berorganisasi, bersosialisasi, mengalahkan stigma negatif, membuat wadah bagi sesama agar bisa saling mendukung dan mengedukasi, karena kepedulian itu sangat lah penting terutama dari keluarga.

Ada cerita tentang seorang bipolar yang memiliki masalah berat karena dicerai oleh suami yang selingkuh. Sejak kecil keluarga sangat tidak mendukung hidupnya. Stresor yang dihadapinya sejak kecil dan saat bercerai ini bisa kita kategorikan berat karena menyangkut perpisahan dengan pasangan hidup dan keluarga sebagai primary support group (poin stresor sosialnya mungkin melebihi 100%).  Saat ke dokter jiwa setahunan lalu ia mengatakan sangat terpuruk dan ingin bunuh diri. Namun dengan pengobatan dan paparan komunitas, bertemu teman-teman senasib, akhirnya saat ini ia tetap survive membesarkan anaknya, menerima orderan kue-kue untuk membiayai anak-anak sebagai single parent, dan berhasil menjauhkan keinginan buruk seperti bunuh diri. Beliau ini bahkan diamanahi sebagai ketua komunitas tersebut kalo tidak salah.

Banyak contoh dari tokoh-tokoh lain yang survive dengan bipolar. Seperti ada yang sudah menulis sebuah buku dan diterbitkan dimana-mana tentang kisah hidupnya dengan bipolar, ada juga yang melakukan pameran lukisan dst. Mereka-mereka ini adalah contoh dari kepedulian orang disekitar mereka. Mau membantu mereka bangkit. Efek yang sangat luar biasa bukan? Satu kisah saja sudah membuat saya berlinang bahagia.

Oleh karena nya saya tidak banyak mencari contoh program public health lainnya karena yang dicontohkan komunitas ini, sudah lebih dari cukup untuk membantu mereka. Bagi saya needs dan klien mereka jelas. Efek dari program mereka juga sudah banyak contoh keberhasilannya. Yang penting saat ini adalah dukungan kontinu dan kepedulian terutama oleh kita tenaga kesehatan. Jika tidak dimulai dari kita, siapa lagi?


Andinillahi Raswati

Referensi:
https://m.facebook.com/BCIDIYJateng/?_rdr


Rethink Your Drink!

Program ini dibentuk oleh CDC untuk mengajak masyarakat membuka mata mengenai input kalori mereka melalu minuman yang sering kali dilupakan. Jumlah kalori dalam minuman kita tanpa terasa sesungguhnya cukup besar. Dalam yang paling sederhana saja, satu kaleng minuman soda, terdapat kurang lebih 140 kcal yang seluruhnya berasal dari gula. Berapa banyak minuman manis yang kita minum setiap hari? Itu belum termasuk makanan yang kita makan, mengingat pula cenderung tingginya kalori masakan Indonesia yang banyak digoreng dan bersantan. Selain menggemukkan, tingginya kadar gula dalam darah secara terus-menerus dapat menimbulkan resistensi insulin yang bias berakhir pada DM tipe 2.








Kesadaran ini dapat dimulai dengan cara sederhana misalnya melihat nutritional value yang tertera pada kemasan minuman, dari situ kita bisa mengetahui kandungan gizi dan kalori pada minuman tersebut. Kemudian perlahan kita juga bias mulai mengira-ngira jumlah kalori dalam suatu minuman yang sering  kali kita minum tanpa banyak berpikir. Misalnya saat berjalan-jalan di mall kita biasa memesan minuman di cafĂ© berupa kopi susu dengan berbagai sirup perasa dan whipped-cream, semua itu dapat dengan mudah mencapai 350-500 kcal.

Program ini mengajak kita untuk mengurangi konsumsi gula dalam minuman, seperti misalnya menghindari minuman soda dan memesan jus tanpa gula. Air putih adalah pilihan yang baik karena tidak mengandung kalori sama sekali. Dengan memotong konsumsi minuman tinggi kalori kita bisa mengurangi setidaknya 200-500 kcal per hari. Hal ini sebenarnya sangat mudah dilakukan, karena menurunkan masukan kalori dengan mengurangi makan lebih sulit akibat adanya rasa lapar, namun minuman sesungguhnya hanya sebuah pilihan apakah kita ingin memanjakan lidah atau lebih sadar kesehatan. Program ini selain menghindari kegemukan, tentunya juga sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Referensi:
1. http://www.cdc.gov/healthyweight/healthy_eating/drinks.html
2. https://www.hsph.harvard.edu/nutritionsource/healthy-drinks/sugary-drinks/
3. Intake of sugar-sweetened beverages and weight gain: a systematic review
    http://ajcn.nutrition.org/content/84/2/274.full

Ruth S. A.

Three Domains of Public Health

Setelah membaca artikel ini saya menjadi lebih mengerti tentang tiga domain pada Public Health yaitu health protection, health improvement and health service delivery and quality. Saya menyadari bahwa dalam menjaga kesehatan masyarakat secara luas terdapat 3 hal yang harus diperhatikan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat luas haruslah menyeluruh, dan membutuhkan kerja sama dari berbagai bidang. Dokter misalnya, lebih terfokus pada health service delivery and quality karena lebih mengarah pada sebuah situasi klinis, sedangkan untuk health protection serta health improvement selain dokter klinisi dibutuhkan juga misalnya Lembaga Sosial Masyarakat karena banyak pula di dalamnya program berupa kampanye untuk menghimbau masyarakat lebih sadar mengenai isu-isu kesehatan, atau contoh lain ialah organisasi yang dibentuk untuk membantu/melindungi misalnya remaja yang hamil di luar nikah dan kehilangan bantuan dari orang tuanya seta mengalami kesulitan (Teenage Pregnancy Support). Seluruh aspek ini diperlukan untuk membentuk masyarakat yang sehat seutuhnya.


Ruth S. A.

Mengapa Saya Tidak Tertarik dengan Public Health

Yang langsung terpikir saat mendengar kata Public Health adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah atau program-program kesehatan yang sepertinya sulit atau rumit. Bagi saya hal ini merupakan sebuah vicious cirlce di mana saya tidak tertarik karena terlihat rumit, terasa rumit karena tidak saya mengerti/pelajari, dan tidak saya pelajari karena saya kurang tertarik. 

Sesungguhnya ada hal-hal tertentu pada Ilmu Kesehatan Masyarakat yang menurut saya menarik dan saya akui perlu dikuasai, namun karena saya lebih senang dengan hal-hal yang klinis dan praktikal, saya cenderung lebih tertarik untuk fokus pada program-program kesehatan yang proses realisasinya lebih mudah dan bisa berefek langsung. Saya menyukai proses pembelajaran dengan memilih tema yang memang disenangi, karena lebih mudah diserap dan tidak hanya menjadi sekadar tugas yang berlalu begitu saja, tetapi dibaca dan dimengerti karena memang penasaran dan tertarik. Semoga saya pun lebih banyak lagi menemukan kesenangan dalam menerapkan kesehatan masyarakat di masa yang akan datang.

Ruth S. A.

Belajar dari Australia: Program untuk Pedalaman


"One-third of Australians live in remote and outer regional areas."

Kalimat di atas yang berhasil membuat saya tertarik untuk mengulas
laporan jurnal ini. Coba perhatikan kembali peta Australia di atas dan makna warnanya.
Yang terbayang pada pikiran saya, Austalia
adalah sebuah benua dengan seluruh Negara yang sudah maju dan tentu
saja adi daya. Ternyata terdapat fakta bahwa satu per tiga kawasannya
masih tergolong pedalaman dan terpencil atau pada istilah kita disebut
dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT), seperti tulisan yang telah saya
ulas sebelumnya. Hal ini menjadi menarik untuk kita tilik lebih dalam
bagaimana Autralia menangani masyarakat KAT-nya dan juga sedikit
membandingkan dengan Negara kita Indonesia yang letak geografisnya
tidak jauh dari sana.

Meskipun penduduk Australia terus tumbuh, daerah terpencil dan
pedesaan tumbuh pada tingkat yang lebih lambat dari rata-rata nasional
1,6%. Suku Aborigin dan Torres Strait Islander menjadi 24% dari
populasi di daerah terpencil tersebut. Daerah pedalaman Australia
umumnya memiliki kesehatan yang lebih buruk daripada orang di kota.
Fakta-fakta pada masyarakat pedalaman dan terpencil Australia adalah
sebagai berikut; (1) cenderung memiliki harapan hidup yang lebih
pendek, dan lebih berisiko untuk terkena suat penyakit; (2) memiliki
status kesehatan yang lebih buruk dan angkanya terus meningkat
berbanding lurus dengan tingkat keterpencilan, bahkan menjadi lebih
buruk bagi orang-orang Aborigin dan Torres Strait Islander; (3)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kecelakaan; (4) lebih tinggi
kemungkinannya untuk terkena penyakit kronis tertentu dan kanker
karena terkait erat dengan paparan sinar matahari atau rokok; (5)
perawatan medis yang terbatas. Dari lima hal ini dapat kita simpulkan
bahwa fakta pada dampak keterpencilan masyarakat ini sama masalahnya
yang dihadapi di Indonesia.

Seperti yang telah disampaikan Dr. dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA pada
mentoring yang lalu, bahwa tidak ada program 'one size fits all' yang
dapat melayani kebutuhan kesehatan masyarakat terpencil dan pedesaan
secara beragam. Program layanan harus spesifik dan efektif tepat
sasaran. Sama halnya dengan Australia, pemerintah setempat telah
menerapkan program-program yang sedemikan rupa utntuk menyesuaikan
dengan kondisi masayarat KAT di sana. Program yang telah dirancang
antara lain; (1) program regional yang dirancang untuk memaksimalkan
akses ke perawatan kesehatan primer yang komprehensif yang sesuai; (2)
pembiayaan dan sumber daya diatur secara independen dari ketersediaan
tenaga kerja; (3) jaringan layanan perawatan kesehatan primer dengan
layanan fokus pada promosi kesehatan dan intervensi dini; (4)
menguatkan tim multidisiplin dengan spesialisasi bidang masing-masing,
misalnya, dokter spesialis, bidan, bersekutu kesehatan, farmasi dan
pelayanan kesehatan gigi mulut yang mempertahankan pelayanan kesehatan
yang mumpuni; (5) adanya sistem rujukan dan saran jaringan bagi para
praktisi terpencil dan pedesaan yang mendukung sehingga dapat
meningkatkan kualitas perawatan (6) infrastruktur yang memadai untuk
mendukung tenaga kerja medis dan kesehatan yang sesuai; (7) adanya
mekanisme untuk memantau kemajuan terhadap indikator dan target yang
disepakati, memastikan kualitas dan akuntabilitas untuk semua pemain;
(8) keterlibatan masyarakat.

Terdapat program-program lain yang menurut saya unik, yaitu layanan
'telehealth', komunikasi dan konsultasi antar praktisi melalui
teleradiologi. Selain itu juga ada program 'on-call', praktisi dapat
ditelepon dan diakses melalui sebuah web di internet untuk konsultasi
24 jam apabila terjadi hal yang mendesak. Sistem ini dikelola oleh
praktisi medis dari jarak jauh. Program ini menurut saya simple dan
dapat mempermudah, teteapi apabila diterapkan di Indonesia rasanya
akan menemui suatu hambatan, karena belum di seluruh kawasan
Indonesia, apalagi di daerah pedalamannya terjangkau akses sinyal
telepon dan internet.

Tidak kalah penting, program lainnya yang dirancang pemerintahan
Australia adalah menempatkan para sarjana pendidikan profesional dan
pascasarjana di semua disiplin ilmu untuk dialokasikan di pusat-pusat
regional terpencil dan pedesaan untuk pengembangan daerah. Hal ini
telah dilaksanakan pula oleh Indonesia melalui program internship dan
PTT untuk dokter umum.

Program-program tersebut, menurut saya sudah tergolong efektif karena
telah tepat sasaran kepada masyarakat KAT di Australia dan dari review
laporan jurnal yang tercantum, diaktakan terdapat peningkatan status
kesehatan masyarakat KAT dari tahun ke tahunnya.

Dengan latar belakang kondisi masyarakat KAT yang sama antara
Australia dan Indonesia, menurut saya banyak programnya yang dapat
kita ambil contoh untuk memajukan masyarakat KAT Indonesia, khususnya
di Kepulauan Mentawai yang telah saya bahas di tulisan sebelumnya yang
mengalami beberapa kendala dalam penanganannya.



Hanifiya Samha Wardhani
Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada

Program Pilihan: Rethink Your Drink


This program piqued my interest because it is simple, and yet it can bring a significant change in our daily life. A lot of people are not yet calorie-conscious in our country, and some who do sometimes forget that their choice of drink contains a lot of calories too. Most of our teenagers and young adults like to drink sweet drinks with their meal like soda, juice or sweetened tea, some went to a coffee shop after their meal at the mall and order a large cup of blended café-latte with extra whipped-cream which they might not realize has the same amount of calorie as the food they've just eaten before, maybe even more. Now this program wants us to think twice before choosing our beverage, to help cut down our calorie-intake. Exercising this simple habit from a young age can lower our risk of suffering from obesity and type 2 Diabetes Mellitus, both are considered major health problems and are risk factors for cardiovascular diseases.


Ruth S. A.

Safe walking and cycling



Masih satu topik dengan postingan sebelumnya, yaitu peningkatan aktivitas fisik untuk mengurangi prevalensi penyakit tidak menular seperti DM, hipertensi, dislipidemia, dll. Artikel berikut membahas mengenai bagaimana menciptakan lingkungan yang aman untuk berjalan kaki dan bersepeda dengan belajar dari dua negara eropa, Jerman dan Belanda, yang telah sukses menciptakan lingkungan yang aman.
Pucher, J., & Dijkstra, L. (2003). Promoting safe walking and cycling to improve public health: lessons from the Netherlands and Germany. American journal of public health, 93(9), 1509-1516.
Setelah membaca artikel ini, kesan pertama saya adalah luar biasa nyaman pasti hidup di Jerman atau Belanda. Saya belum pernah kesana namun saya bisa membayangkan betapa nyaman dan amannya berjalan kaki dan bersepeda disana, karena pada dasarnya saya kemana-mana naik sepeda atau jalan kaki, atau naik kendaraan umum sehingga bagi saya akan sangat luar biasa jika di Indonesia bisa tercipta lingkungan yang seperti diceritakan oleh penulis di Jerman dan Belanda.
Artikel tersebut secara garis besar berisi perbandingan keamanan lingkungan untuk jalan kaki dan bersepeda di Amerika dengan Jerman dan Belanda. Setelah membaca artikel tersebut, menurut saya kondisi di Amerika tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia (karena kurang lebih budaya dan politik Indonesia berkiblat ke Amerika). Dan juga diceritakan bagaiman kebijakan di Jerman dan Belanda untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi jalan kaki dan bersepeda.
Ada 6 kategori kebijakan yang sudah diterapkan di Jerman dan Belanda yang diceritakan oleh penulis yaitu: fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki dan bersepeda; desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non kendaraan bermotor; lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan; pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota; edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor (pejalan kaki dan pesepeda); dan peraturan yang ketat dan memaksa untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda.
1.    Fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki dan bersepeda: daerah bebas kendaraan bermotor yang luas di semua pusat kota, trotoar yang lebar di kanan kiri jalan, tempat penyeberangan yang jelas dan banyak yang dilengkapi dengan lampu penyeberangan baik di persimpangan atau di pertengahan jalan, jalur sepeda, “jalan sepeda” dimana mobil boleh melintas tapi hak utamanya berada pada pengguna sepeda yang boleh menggunakan semua ruas jalan. Beberapa sebenarnya sudah di Indonesia, namun tidak digunakan dengan semetinya. Trotoar untuk tempat parkir, motor melintasi trotoar, trotoar untuk jualan, kurangnya pemahaman mengenai fungsi zebracross, jalur sepeda yang dipakai kendaraan bermotor, dsb.
2.    Desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non kendaraan bermotor: pembangunan daerah perumahan dengan pusat perbelanjaan dan kantor dirancang dengan jarak yang mampu dicapai dengan berjalan kaki atau bersepeda. Kalau disini rata-rata tempat umum seperti kantor, pusat perbelanjaan, dan tempat umum jaraknya jauh dari lokasi perumahan sehingga mengharuskan penggunaan kendaraan bermotor.
3.    Lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan: di daerah perumahan kecepatan maksimal adalah 30 km/jam. Pengurangan kecepatan ini memungkinkan pengendara menghindari tabrakan dengan pejalan kaki/pesepeda dan juga mengurangi dampak serius jika memang terjadi tabrakan. Di Indonesia ada memang pembatasan kecepatan, tapi jarang dipatuhi.
4.    Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota: daerah bebas kendaraan bermotor, kecepatan maksimal di kota adalah 50 km/jam, tempat parkir terbatas dan mahal, tidak ada tempat parkir di sepanjang jalan. Sudah jelas sangat berbeda dengan di Indonesia dimana tempat parkir sepanjang jalan bahkan sampai naik ke trotoar, batas kecepatan yang tidak dipatuhi.
5.    Edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor (pejalan kaki dan pesepeda): pelatihan mengendarai kendaraan bermotor sangat mahal di Belanda dan Jerman (di Indonesia anak SD belajar sendiri naik motor), sejak usia 10 tahun anak-anak diajari mengenai jalan kaki dan bersepeda yang baik, tidak hanya peraturannya namun juga bagaimana cara menghindari jika ada kendaraan yang berbahaya, bagaiman bereaksi dengan tepat.
6.    Peraturan yang ketat dan memaksa untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda: peraturan lalu lintas di Jerman dan Belanda sangat memihak ke pejalan kaki dan pesepeda. Bahkan jika pejalan kaki/pesepeda ini yang salah, misal tidak mengikuti sinyal/tanda penyebrangan, pengendara kendaraan bermotor hampir selalu kena sebagian kesalahan. Apalagi jika kecelakaan melibatkan anak-anak dan lansia, hampir semua kesalah ditimpakan pada si pengendara kendaraan bermotor. Polisi dan pengadilan selalu manganggap bahwa kendaraan bermotor harus selalu mewaspadai pejalan kaki/pesepeda yang tidak mematuhi aturan. Namun bukan berarti pejalan kaki dan pesepeda tidak memiliki aturan, mereka akan tetap dikenai sanksi dan denda jika melanggar aurannya, seperti menyeberang tidak sesuai rambu-rambu, bersepeda melawan arah, dsb.mereka juga dipaksa untuk tertib agar keamanannya terjaga.
Coba bayangkan jika hal-hal di atas diterapkan di Indonesia. Hidup tentram, jalan aman, bebas macet, terdorong untuk berjalan kaki/bersepeda, aktivitas fisik meningkat, penyakit tidka menular menurun, beban negara untuk biaya kesehatan berkurang, produktivitas masyarakat meningkat. Bahagia sekali hidup ini.
Memang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Jerman dan Belanda saja butuh lebih dari 25 tahun untuk mewujudkan lingkungan ini.
Tahap pertama yang dapat dilakukan menurut saya adalah pengumpulan data yang lengkap dan benar. Berapa jumlah kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dan pesepeda per kilometer atau per perjalanan. Data mengenai perilaku bepergian. Seberapa banyak yang menggunakan kedaraan bermotor? Untuk jarak berapa? Mengapa tidak berjalan kaki atau bersepeda? Hal-hal ini bisa menjadi dasar untuk menentukan arah perbaikan yang ingin dicapai.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor, merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor, merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Sama dengan sebelumnya, untuk berubah terkadang memang harus dipaksa, terpaksa, hingga akhirnya terbiasa.