Masih satu topik dengan postingan sebelumnya, yaitu peningkatan
aktivitas fisik untuk mengurangi prevalensi penyakit tidak menular seperti DM,
hipertensi, dislipidemia, dll. Artikel berikut membahas mengenai bagaimana
menciptakan lingkungan yang aman untuk berjalan kaki dan bersepeda dengan
belajar dari dua negara eropa, Jerman dan Belanda, yang telah sukses
menciptakan lingkungan yang aman.
Pucher, J.,
& Dijkstra, L. (2003). Promoting safe walking and cycling to improve public
health: lessons from the Netherlands and Germany. American journal of public
health, 93(9), 1509-1516.
Setelah membaca artikel ini, kesan pertama saya adalah luar
biasa nyaman pasti hidup di Jerman atau Belanda. Saya belum pernah kesana namun
saya bisa membayangkan betapa nyaman dan amannya berjalan kaki dan bersepeda
disana, karena pada dasarnya saya kemana-mana naik sepeda atau jalan kaki, atau
naik kendaraan umum sehingga bagi saya akan sangat luar biasa jika di Indonesia
bisa tercipta lingkungan yang seperti diceritakan oleh penulis di Jerman dan
Belanda.
Artikel tersebut secara garis besar berisi perbandingan
keamanan lingkungan untuk jalan kaki dan bersepeda di Amerika dengan Jerman dan
Belanda. Setelah membaca artikel tersebut, menurut saya kondisi di Amerika
tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia (karena kurang lebih budaya dan
politik Indonesia berkiblat ke Amerika). Dan juga diceritakan bagaiman
kebijakan di Jerman dan Belanda untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi
jalan kaki dan bersepeda.
Ada 6 kategori kebijakan yang sudah diterapkan di Jerman dan
Belanda yang diceritakan oleh penulis yaitu: fasilitas yang lebih baik untuk
berjalan kaki dan bersepeda; desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non
kendaraan bermotor; lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan; pembatasan
penggunaan kendaraan bermotor di kota; edukasi lalu lintas yang besar-besaran
untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan
bermotor (pejalan kaki dan pesepeda); dan peraturan yang ketat dan memaksa
untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda.
1.
Fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki
dan bersepeda: daerah bebas kendaraan bermotor yang luas di semua pusat kota,
trotoar yang lebar di kanan kiri jalan, tempat penyeberangan yang jelas dan
banyak yang dilengkapi dengan lampu penyeberangan baik di persimpangan atau di
pertengahan jalan, jalur sepeda, “jalan sepeda” dimana mobil boleh melintas
tapi hak utamanya berada pada pengguna sepeda yang boleh menggunakan semua ruas
jalan. Beberapa sebenarnya sudah di Indonesia, namun tidak digunakan dengan
semetinya. Trotoar untuk tempat parkir, motor melintasi trotoar, trotoar untuk
jualan, kurangnya pemahaman mengenai fungsi zebracross, jalur sepeda yang
dipakai kendaraan bermotor, dsb.
2.
Desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan
non kendaraan bermotor: pembangunan daerah perumahan dengan pusat perbelanjaan
dan kantor dirancang dengan jarak yang mampu dicapai dengan berjalan kaki atau
bersepeda. Kalau disini rata-rata tempat umum seperti kantor, pusat
perbelanjaan, dan tempat umum jaraknya jauh dari lokasi perumahan sehingga
mengharuskan penggunaan kendaraan bermotor.
3.
Lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan:
di daerah perumahan kecepatan maksimal adalah 30 km/jam. Pengurangan kecepatan
ini memungkinkan pengendara menghindari tabrakan dengan pejalan kaki/pesepeda
dan juga mengurangi dampak serius jika memang terjadi tabrakan. Di Indonesia
ada memang pembatasan kecepatan, tapi jarang dipatuhi.
4.
Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota:
daerah bebas kendaraan bermotor, kecepatan maksimal di kota adalah 50 km/jam,
tempat parkir terbatas dan mahal, tidak ada tempat parkir di sepanjang jalan. Sudah
jelas sangat berbeda dengan di Indonesia dimana tempat parkir sepanjang jalan
bahkan sampai naik ke trotoar, batas kecepatan yang tidak dipatuhi.
5.
Edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk
pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor
(pejalan kaki dan pesepeda): pelatihan mengendarai kendaraan bermotor sangat
mahal di Belanda dan Jerman (di Indonesia anak SD belajar sendiri naik motor),
sejak usia 10 tahun anak-anak diajari mengenai jalan kaki dan bersepeda yang
baik, tidak hanya peraturannya namun juga bagaimana cara menghindari jika ada
kendaraan yang berbahaya, bagaiman bereaksi dengan tepat.
6.
Peraturan yang ketat dan memaksa untuk
melindungi pejalan kaki dan pesepeda: peraturan lalu lintas di Jerman dan
Belanda sangat memihak ke pejalan kaki dan pesepeda. Bahkan jika pejalan
kaki/pesepeda ini yang salah, misal tidak mengikuti sinyal/tanda penyebrangan, pengendara
kendaraan bermotor hampir selalu kena sebagian kesalahan. Apalagi jika
kecelakaan melibatkan anak-anak dan lansia, hampir semua kesalah ditimpakan
pada si pengendara kendaraan bermotor. Polisi dan pengadilan selalu manganggap
bahwa kendaraan bermotor harus selalu mewaspadai pejalan kaki/pesepeda yang
tidak mematuhi aturan. Namun bukan berarti pejalan kaki dan pesepeda tidak
memiliki aturan, mereka akan tetap dikenai sanksi dan denda jika melanggar
aurannya, seperti menyeberang tidak sesuai rambu-rambu, bersepeda melawan arah,
dsb.mereka juga dipaksa untuk tertib agar keamanannya terjaga.
Coba bayangkan jika hal-hal di atas diterapkan di Indonesia.
Hidup tentram, jalan aman, bebas macet, terdorong untuk berjalan
kaki/bersepeda, aktivitas fisik meningkat, penyakit tidka menular menurun,
beban negara untuk biaya kesehatan berkurang, produktivitas masyarakat
meningkat. Bahagia sekali hidup ini.
Memang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Jerman dan
Belanda saja butuh lebih dari 25 tahun untuk mewujudkan lingkungan ini.
Tahap pertama yang dapat dilakukan menurut saya adalah
pengumpulan data yang lengkap dan benar. Berapa jumlah kecelakaan yang
melibatkan pejalan kaki dan pesepeda per kilometer atau per perjalanan. Data mengenai
perilaku bepergian. Seberapa banyak yang menggunakan kedaraan bermotor? Untuk jarak
berapa? Mengapa tidak berjalan kaki atau bersepeda? Hal-hal ini bisa menjadi
dasar untuk menentukan arah perbaikan yang ingin dicapai.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan
sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah
berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak
menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor,
merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi
faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum
mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik
motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan
dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan
pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra
cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan
sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah
berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak
menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor,
merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi
faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum
mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik
motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan
dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan
pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra
cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Sama dengan sebelumnya, untuk berubah terkadang memang harus
dipaksa, terpaksa, hingga akhirnya terbiasa.
No comments:
Post a Comment