Thursday, July 28, 2016

Belajar dari Australia: Program untuk Pedalaman


"One-third of Australians live in remote and outer regional areas."

Kalimat di atas yang berhasil membuat saya tertarik untuk mengulas
laporan jurnal ini. Coba perhatikan kembali peta Australia di atas dan makna warnanya.
Yang terbayang pada pikiran saya, Austalia
adalah sebuah benua dengan seluruh Negara yang sudah maju dan tentu
saja adi daya. Ternyata terdapat fakta bahwa satu per tiga kawasannya
masih tergolong pedalaman dan terpencil atau pada istilah kita disebut
dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT), seperti tulisan yang telah saya
ulas sebelumnya. Hal ini menjadi menarik untuk kita tilik lebih dalam
bagaimana Autralia menangani masyarakat KAT-nya dan juga sedikit
membandingkan dengan Negara kita Indonesia yang letak geografisnya
tidak jauh dari sana.

Meskipun penduduk Australia terus tumbuh, daerah terpencil dan
pedesaan tumbuh pada tingkat yang lebih lambat dari rata-rata nasional
1,6%. Suku Aborigin dan Torres Strait Islander menjadi 24% dari
populasi di daerah terpencil tersebut. Daerah pedalaman Australia
umumnya memiliki kesehatan yang lebih buruk daripada orang di kota.
Fakta-fakta pada masyarakat pedalaman dan terpencil Australia adalah
sebagai berikut; (1) cenderung memiliki harapan hidup yang lebih
pendek, dan lebih berisiko untuk terkena suat penyakit; (2) memiliki
status kesehatan yang lebih buruk dan angkanya terus meningkat
berbanding lurus dengan tingkat keterpencilan, bahkan menjadi lebih
buruk bagi orang-orang Aborigin dan Torres Strait Islander; (3)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kecelakaan; (4) lebih tinggi
kemungkinannya untuk terkena penyakit kronis tertentu dan kanker
karena terkait erat dengan paparan sinar matahari atau rokok; (5)
perawatan medis yang terbatas. Dari lima hal ini dapat kita simpulkan
bahwa fakta pada dampak keterpencilan masyarakat ini sama masalahnya
yang dihadapi di Indonesia.

Seperti yang telah disampaikan Dr. dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA pada
mentoring yang lalu, bahwa tidak ada program 'one size fits all' yang
dapat melayani kebutuhan kesehatan masyarakat terpencil dan pedesaan
secara beragam. Program layanan harus spesifik dan efektif tepat
sasaran. Sama halnya dengan Australia, pemerintah setempat telah
menerapkan program-program yang sedemikan rupa utntuk menyesuaikan
dengan kondisi masayarat KAT di sana. Program yang telah dirancang
antara lain; (1) program regional yang dirancang untuk memaksimalkan
akses ke perawatan kesehatan primer yang komprehensif yang sesuai; (2)
pembiayaan dan sumber daya diatur secara independen dari ketersediaan
tenaga kerja; (3) jaringan layanan perawatan kesehatan primer dengan
layanan fokus pada promosi kesehatan dan intervensi dini; (4)
menguatkan tim multidisiplin dengan spesialisasi bidang masing-masing,
misalnya, dokter spesialis, bidan, bersekutu kesehatan, farmasi dan
pelayanan kesehatan gigi mulut yang mempertahankan pelayanan kesehatan
yang mumpuni; (5) adanya sistem rujukan dan saran jaringan bagi para
praktisi terpencil dan pedesaan yang mendukung sehingga dapat
meningkatkan kualitas perawatan (6) infrastruktur yang memadai untuk
mendukung tenaga kerja medis dan kesehatan yang sesuai; (7) adanya
mekanisme untuk memantau kemajuan terhadap indikator dan target yang
disepakati, memastikan kualitas dan akuntabilitas untuk semua pemain;
(8) keterlibatan masyarakat.

Terdapat program-program lain yang menurut saya unik, yaitu layanan
'telehealth', komunikasi dan konsultasi antar praktisi melalui
teleradiologi. Selain itu juga ada program 'on-call', praktisi dapat
ditelepon dan diakses melalui sebuah web di internet untuk konsultasi
24 jam apabila terjadi hal yang mendesak. Sistem ini dikelola oleh
praktisi medis dari jarak jauh. Program ini menurut saya simple dan
dapat mempermudah, teteapi apabila diterapkan di Indonesia rasanya
akan menemui suatu hambatan, karena belum di seluruh kawasan
Indonesia, apalagi di daerah pedalamannya terjangkau akses sinyal
telepon dan internet.

Tidak kalah penting, program lainnya yang dirancang pemerintahan
Australia adalah menempatkan para sarjana pendidikan profesional dan
pascasarjana di semua disiplin ilmu untuk dialokasikan di pusat-pusat
regional terpencil dan pedesaan untuk pengembangan daerah. Hal ini
telah dilaksanakan pula oleh Indonesia melalui program internship dan
PTT untuk dokter umum.

Program-program tersebut, menurut saya sudah tergolong efektif karena
telah tepat sasaran kepada masyarakat KAT di Australia dan dari review
laporan jurnal yang tercantum, diaktakan terdapat peningkatan status
kesehatan masyarakat KAT dari tahun ke tahunnya.

Dengan latar belakang kondisi masyarakat KAT yang sama antara
Australia dan Indonesia, menurut saya banyak programnya yang dapat
kita ambil contoh untuk memajukan masyarakat KAT Indonesia, khususnya
di Kepulauan Mentawai yang telah saya bahas di tulisan sebelumnya yang
mengalami beberapa kendala dalam penanganannya.



Hanifiya Samha Wardhani
Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada

Program Pilihan: Rethink Your Drink


This program piqued my interest because it is simple, and yet it can bring a significant change in our daily life. A lot of people are not yet calorie-conscious in our country, and some who do sometimes forget that their choice of drink contains a lot of calories too. Most of our teenagers and young adults like to drink sweet drinks with their meal like soda, juice or sweetened tea, some went to a coffee shop after their meal at the mall and order a large cup of blended café-latte with extra whipped-cream which they might not realize has the same amount of calorie as the food they've just eaten before, maybe even more. Now this program wants us to think twice before choosing our beverage, to help cut down our calorie-intake. Exercising this simple habit from a young age can lower our risk of suffering from obesity and type 2 Diabetes Mellitus, both are considered major health problems and are risk factors for cardiovascular diseases.


Ruth S. A.

Safe walking and cycling



Masih satu topik dengan postingan sebelumnya, yaitu peningkatan aktivitas fisik untuk mengurangi prevalensi penyakit tidak menular seperti DM, hipertensi, dislipidemia, dll. Artikel berikut membahas mengenai bagaimana menciptakan lingkungan yang aman untuk berjalan kaki dan bersepeda dengan belajar dari dua negara eropa, Jerman dan Belanda, yang telah sukses menciptakan lingkungan yang aman.
Pucher, J., & Dijkstra, L. (2003). Promoting safe walking and cycling to improve public health: lessons from the Netherlands and Germany. American journal of public health, 93(9), 1509-1516.
Setelah membaca artikel ini, kesan pertama saya adalah luar biasa nyaman pasti hidup di Jerman atau Belanda. Saya belum pernah kesana namun saya bisa membayangkan betapa nyaman dan amannya berjalan kaki dan bersepeda disana, karena pada dasarnya saya kemana-mana naik sepeda atau jalan kaki, atau naik kendaraan umum sehingga bagi saya akan sangat luar biasa jika di Indonesia bisa tercipta lingkungan yang seperti diceritakan oleh penulis di Jerman dan Belanda.
Artikel tersebut secara garis besar berisi perbandingan keamanan lingkungan untuk jalan kaki dan bersepeda di Amerika dengan Jerman dan Belanda. Setelah membaca artikel tersebut, menurut saya kondisi di Amerika tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia (karena kurang lebih budaya dan politik Indonesia berkiblat ke Amerika). Dan juga diceritakan bagaiman kebijakan di Jerman dan Belanda untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi jalan kaki dan bersepeda.
Ada 6 kategori kebijakan yang sudah diterapkan di Jerman dan Belanda yang diceritakan oleh penulis yaitu: fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki dan bersepeda; desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non kendaraan bermotor; lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan; pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota; edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor (pejalan kaki dan pesepeda); dan peraturan yang ketat dan memaksa untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda.
1.    Fasilitas yang lebih baik untuk berjalan kaki dan bersepeda: daerah bebas kendaraan bermotor yang luas di semua pusat kota, trotoar yang lebar di kanan kiri jalan, tempat penyeberangan yang jelas dan banyak yang dilengkapi dengan lampu penyeberangan baik di persimpangan atau di pertengahan jalan, jalur sepeda, “jalan sepeda” dimana mobil boleh melintas tapi hak utamanya berada pada pengguna sepeda yang boleh menggunakan semua ruas jalan. Beberapa sebenarnya sudah di Indonesia, namun tidak digunakan dengan semetinya. Trotoar untuk tempat parkir, motor melintasi trotoar, trotoar untuk jualan, kurangnya pemahaman mengenai fungsi zebracross, jalur sepeda yang dipakai kendaraan bermotor, dsb.
2.    Desain urban yang pas sesuai dengan kebutuhan non kendaraan bermotor: pembangunan daerah perumahan dengan pusat perbelanjaan dan kantor dirancang dengan jarak yang mampu dicapai dengan berjalan kaki atau bersepeda. Kalau disini rata-rata tempat umum seperti kantor, pusat perbelanjaan, dan tempat umum jaraknya jauh dari lokasi perumahan sehingga mengharuskan penggunaan kendaraan bermotor.
3.    Lalu lintas yang tenang di lingkungan perumahan: di daerah perumahan kecepatan maksimal adalah 30 km/jam. Pengurangan kecepatan ini memungkinkan pengendara menghindari tabrakan dengan pejalan kaki/pesepeda dan juga mengurangi dampak serius jika memang terjadi tabrakan. Di Indonesia ada memang pembatasan kecepatan, tapi jarang dipatuhi.
4.    Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di kota: daerah bebas kendaraan bermotor, kecepatan maksimal di kota adalah 50 km/jam, tempat parkir terbatas dan mahal, tidak ada tempat parkir di sepanjang jalan. Sudah jelas sangat berbeda dengan di Indonesia dimana tempat parkir sepanjang jalan bahkan sampai naik ke trotoar, batas kecepatan yang tidak dipatuhi.
5.    Edukasi lalu lintas yang besar-besaran untuk pengendara kendaraan bermotor dan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor (pejalan kaki dan pesepeda): pelatihan mengendarai kendaraan bermotor sangat mahal di Belanda dan Jerman (di Indonesia anak SD belajar sendiri naik motor), sejak usia 10 tahun anak-anak diajari mengenai jalan kaki dan bersepeda yang baik, tidak hanya peraturannya namun juga bagaimana cara menghindari jika ada kendaraan yang berbahaya, bagaiman bereaksi dengan tepat.
6.    Peraturan yang ketat dan memaksa untuk melindungi pejalan kaki dan pesepeda: peraturan lalu lintas di Jerman dan Belanda sangat memihak ke pejalan kaki dan pesepeda. Bahkan jika pejalan kaki/pesepeda ini yang salah, misal tidak mengikuti sinyal/tanda penyebrangan, pengendara kendaraan bermotor hampir selalu kena sebagian kesalahan. Apalagi jika kecelakaan melibatkan anak-anak dan lansia, hampir semua kesalah ditimpakan pada si pengendara kendaraan bermotor. Polisi dan pengadilan selalu manganggap bahwa kendaraan bermotor harus selalu mewaspadai pejalan kaki/pesepeda yang tidak mematuhi aturan. Namun bukan berarti pejalan kaki dan pesepeda tidak memiliki aturan, mereka akan tetap dikenai sanksi dan denda jika melanggar aurannya, seperti menyeberang tidak sesuai rambu-rambu, bersepeda melawan arah, dsb.mereka juga dipaksa untuk tertib agar keamanannya terjaga.
Coba bayangkan jika hal-hal di atas diterapkan di Indonesia. Hidup tentram, jalan aman, bebas macet, terdorong untuk berjalan kaki/bersepeda, aktivitas fisik meningkat, penyakit tidka menular menurun, beban negara untuk biaya kesehatan berkurang, produktivitas masyarakat meningkat. Bahagia sekali hidup ini.
Memang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Jerman dan Belanda saja butuh lebih dari 25 tahun untuk mewujudkan lingkungan ini.
Tahap pertama yang dapat dilakukan menurut saya adalah pengumpulan data yang lengkap dan benar. Berapa jumlah kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dan pesepeda per kilometer atau per perjalanan. Data mengenai perilaku bepergian. Seberapa banyak yang menggunakan kedaraan bermotor? Untuk jarak berapa? Mengapa tidak berjalan kaki atau bersepeda? Hal-hal ini bisa menjadi dasar untuk menentukan arah perbaikan yang ingin dicapai.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor, merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Dulu anak-anak SD-SMP masih berangkat sekolah menggunakan sepeda. SMA sudah mulai naik motor. Semakin dewasa dan tua sudah tidak pernah berjalan kaki. Padahal semakin bertambah usia risiko terkena penyakit tidak menular semakin besar, namun aktivitas fisik semakin menurun (duduk di kantor, merokok, tidak berolah raga, aktivitas fisik kurang). Hal ini jelas menjadi faktor risiko terjadinya DM, hipertensi, dislipidemia, dll.
Regulasi juga tidak ketat. Anak-anak di bawah 17 tahun belum mempunyai izin mengemudi namun sudah naik motor kemana-mana. Mereka lincah naik motor, namun belum paham aturan dan tata krama di jalan. Zebra cross tidak digunakan dengan semestinya, tidak banyak kendaraan yang mau berhenti untuk membiarkan pejalan kaki menyeberang di zebra cross (mungkin mereka tidak tahu fungsi zebra cross). Menyebrang dengan motor lebih mudah dibanding dengan sepeda.
Sama dengan sebelumnya, untuk berubah terkadang memang harus dipaksa, terpaksa, hingga akhirnya terbiasa.

Let's Get Happy

Get Happy adalah sebuah gerakan/komunitas yang memiliki fokus pada isu depresi, kesehatan mental, happiness dan stigma yang meliputinya di Indonesia. Co-Founder Caecilia Dee Tedjapawitra mengatakan dalam salah satu interview nya dengan Magdalene news bahwa sebelum mendirikan komunitas ini, dirinya mengalami gangguan depresi hingga hampir bunuh diri. Depresi berat mebuat dee mengisolasi diri dari lingkungannya. Berdasarkan pengalaman hidupnya tersebut, dee dan temanya Andre Adianto membangun komunitas yang diberi nama Get Happy. Alasannya sederhana, menurut mereka, tidak ada orang yang pantas mengalami depresi sendirian. Komunitas ini menyediakan wadah dalam bentuk aktivitas, pendekatan dan therapy yang dapat membatu mengatasi masalah kesehatan mental. Selain itu get happy juga memberikan informasi mengenai kesehatan mental melalui websitenya di http://get-happy.org/.
Menurut saya, satu hal penting yang sebenarnya disediakan oleh komunitas ini adalah sharing yang merupakan bentuk dukungan yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang dengan gangguan depresi. dengan sharing, mereka akan merasa masih memilliki tempat untuk berbagi dan didengarkan. Selain itu dengan sharing kita juga bisa membantu mereka mencari jalan untuk berdamai dengan masalahnya dan kembali sembuh. Banyak orang mengatakan kepada orang dengan gangguan depresi untuk "lebih dewasa" atau tidak usah memikirkan keadaan dirinya, akan tetapi mereka tidak tahu bagaimana rasanya hidup dengan depresi. Akan lebih baik tampaknya jika kita hanya diam dan mendengarkan cerita mereka. Seperti slogan dari komunitas ini, mungkin kamu depresi, tapi bukan berarti kamu sendiri.

School-based Prevention Programs, Seperti apasih?

Corrieri, S., Heider, D., Conrad, I., Blume, A., König, H.H. and Riedel-Heller, S.G., 2014. School-based prevention programs for depression and anxiety in adolescence: a systematic review. Health promotion international, 29(3), pp.427-441.

Corrieri, S., Conrad, I. and Riedel-Heller, S.G., 2014. Do 'School Coaches' make a difference in school-based mental health promotion? Results from a large focus group studyPsychiatria Danubina, 26(4), pp.319-329.

Calear, A.L. and Christensen, H., 2010. Systematic review of school-based prevention and early intervention programs for depression. Journal of adolescence, 33(3), pp.429-438.


Masih menyoroti tentang prevalensi depresi dan dampak negatif nya pada remaja, prevensi gangguan depresi menjadi penting untuk diperbincangkan. School Based Prevention menjadi salah satu program yang dapat menjadi pilihan yang dapat diimplementasikan untuk mencapi tujuan dalam prevensi tadi. Mengapa sekolah menjadi pilihan? hal ini dikarenakan sekolah dianggap sebagai lingkungan yang ideal, dimana kontak langsung dengan klien (dalam topik ini adalah remaja) sangat memungkinkan, dan disekolah inilah majoritas klien dapat terjangkau. Selain itu pula, diharapkan dengan adanya program mengenai mental health disekolah, dapat melihat gangguan emosi yang sebelumnya tidak terdeteksi ataupun tidak terobati.

Terdapat tiga tipe program prevensi yang dapatt dilakukan di sekolah. (1) universal (diberikan kepada seluruh siswa tanpa melihat level symptomp dari masing masing siswa), (2) indicated (targetnya adalah individu dengan depresi ringan atau early symptomp depression) dan (3) selective (diberikan kepada siswa yang memiliki faktor resiko seperti parental depression atau perceraian).

Terdapat perbedaan pendapat mengenai kefektifan dan keberhasilan dari ketiga tipe program ini. Berdasarkan penelitian Calear, A.L. dan Christensen, H., mereka menyatakan bahwa indicated program dianggap lebih berhasil dan efektif dibandingkan universal dan selected program karena partisipan memiliki kesempatan/ ruang yang lebih luas untuk melakukan perubahan. menurut Corrieri, S, et,al, universal program dirasa memiliki manfaat yang lebih besar, disisi lain ada yang beranggapan bahwa indicated program lebih kearah kurasi bukan prevensi.

Salah satu program prevensi berbasis sekolah adalah 'School Couches' program prevensi di Jerman ini berawal dari kesadaran akan minimnya topik mengenai kesehatan mental didalam kurikulum reguler Jerman, dan dirasa menununjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Maka dari itu NGO di Jerman (Irrsinnig Menschlich e.V) mengembangakan program prevensi berbasis kurikulum di sekolah. Untuk menstandarisasi intervensi yang akan diberikan, program ini menggunakan pendekatan secara sistemik dalam mengidentifikasi permasalahan/ isu dan menyediakan bantuan/ pertlongan yang dapat disesuaikan tergantung kebutuhan tiap sekolahnya. Kampanye dari program ini kemudian diberi nama dengan “Crazy? So what!”. Program ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kepekaan murid dan juga guru terhadap kesehatan mental.

Well, sebenarnya program mana yang dipilih dan efektif atau tidaknya program tersebut memang bergantung dari target dan tujuan dari program itu sendiri. Pada dasarnya menurut saya setiap program pasti sama-sama memberikan hasil, hanya saja hasil yang seperti apa yang diinginkan adalah pertanyaan besar yang harus mulai dipikirkan dari awal program tersebut dirancang. Sebagai Contoh. Jika ingin lebih meningkatkan kepekaan terhadap kesehatan mental dalam hal ini adalah depresi dan mencoba menghilangkan stigma, saya rasa program dengan pendekatan universal akan lebih baik dipilih, akan tetapi jika tujuannya sekaligus untuk menurunkan prevalensi, pendekatan selective dan indicated jauh lebih baik dipilih, karena targetnya lebih spesifik. Selain itu menurut saya keduanya sama-sama memiliki efek prevensi dan sama-sama memberikan manfaat yang berarti.



Rachmanita Yudelia Rizki Sjarif

Pelayanan Kesehatan pada Warga Miskin Pedalaman Mentawai

Masyarakat pedalaman atau dalam istilah baku disebut dengan Komunitas
Adat Terpencil (KAT) adalah istilah untuk masyarakat terasing dengan
kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang
atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi,
maupun politik. Ditinjau dari segi habitatnya, tempat tinggal KAT
dapat dikelompokkan menjadi komunitas adat yang tinggal di dataran
tinggi atau daerah pegunungan, di dataran rendah atau daerah rawa
serta daerah aliran sungai, di daerah pedalaman atau daerah
perbatasan, di atas perahu atau daerah pinggir pantai serta
pulau-pulau terpencil.

Ciri-ciri komunitas yang dapat dikategorikan sebagai Komunitas Adat
Terpencil adalah berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen,
pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan, pada umumnya
terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau, masih hidup
dengan sistem ekonomi subsisten, yaitu memiliki karakteristik produksi
untuk kebutuhan sendiri atau keluarga, orientasinya pada kelangsungan
hidup, bila belum tercukupi kebutuhannya bisa tukar menukar barang
(barter) dengan tetangga atau kerabatnya, peralatan teknologinya
sederhana, ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam
setempat relatif tinggi, serta terbatasnya akses pelayanan sosial,
ekonomi, dan politik.

Sangat beragam kodisi yang harus dihadapi oleh KAT ini. Dalam bidang
pelayanan kesehatan, ada beberapa permasalahan yang harus
diperhatikan, yaitu pertama, ketahanan kesehatan masyarakat KAT harus
menjadi prioritas, agar masyarakat KAT merasa diperhatikan sebagai
bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kedua adalah
tenaga medis dan paramedis yang susah menjangkau ke lokasi KAT dengan
sarana yang sangat minim, adanya barefoot doctor, dokter naik kuda,
flying doctor di daerah-daerah terpencil perlu menjadi pertimbangan
tersendiri. Ketiga, pemberdayaan aspek kesehatan yang telah dilakukan
oleh Pemerintah terhadap KAT, sangat sempit lingkupnya, yaitu meliputi
pelayanan kesehatan dasar, penataan dan pemeliharaan sanitasi
lingkungan, keempat konsep sehat menurut KAT pada dasarnya amat
menggantungkan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, bahwasanya hidup
matinya seseorang telah ditentukan, sehingga manusia hanya perlu
menjalaninya. Kelima yaitu pandangan mengenai sehat/sakit amat
mewarnai kehidupan KAT dan tidak begitu memaksakan keberadaan
fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Puskesmas atau
sejenisnya).

Data tahun 2005 menunjukkan bahwa ada 267.550 kepala keluarga yang
termasuk KAT pada 30 provinsi di Indonesia. Dari 267.550 kepala
keluarga tersebut, terdapat 61.188 kepala keluarga sudah diberdayakan,
13.177 kepala keluarga sedang diberdayakan, dan 193.185 kepala
keluarga belum diberdayakan, dan 6 Kelompok KAT yang sudah
diberdayakan akan dipilih sebagai target dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini diambil sampel KAT yaitu di Kabupaten Kepulauan
Mentawai Provinsi Sumatera Barat, di dua Kecamatan yang dipilih secara
purposif dan delapan desa, empat desa di kecamatan Siberut Utara dan
empat desa di kecamatan Siberut Selatan dengan lokasi dan kriteria
inklusi habitat pinggiran pantai.

Berdasarkan penelitian yang telah disampaikan, terdapat progam-program
yang telah dijalankan pemerintah setempat untuk menunjang
keberlangsungan hidup KAT di Kepulauan Mentawai ini. Program yang
telah dijalankan untuk mengadakan peningkatan pelayanan kesehatan di
Kepulauan Mentawi ini antara lain adalah, merumuskan kebijakan
operasional, memprioritaskan program dan target yang akan dicapai,
penetapan peta masalah, penggalian kendala pemberdayaan, menjalankan
kerja sama dengan instansi lain, dan memaksimalkan pola pelayanan
kesehatan di sana.

Dari program-program yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan
Mentawai untuk menunjang ketersediaan pelayanan kesehatan di sana pada
penelitian ini menemukan beberapa kendala sehingga belum tercapainya
pelayanan yang maksimal bagi masyarakat KAT di Kepulauan Mentawai.
Menurut saya terdapat beberapa titik yang dapat diperbaiki untuk dapat
memaksimalkan pelayanan tersebut.

Menurut data yang diperoleh, ternyata selama ini program bagi warga
KAT dan non KAT masih disamakan. Pemerintah masih member kebijakan
yang sama untuk warganya di sana. Menurut saya, dengan adanya
kebijakan yang khusus untuk warga KAT akan lebih tepat dan
menyesuaikan kondisi warga di sana. Misalnya, akan lebih baik jika
program-program yang dibuat untuk KAT juga mengakomodir masalah
geografis yang sering kali menjadi kendala utama bagi ketersediaan
pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, dapat dijalankan sistem
desentralisasi kebijakan untuk para warga KAT itu sendiri sehingga
dapat lebih menyesuaikan dengan kondisi setempat.

Dapat pula dilakukan pengadaan program prioritas menurut angka
penyakit tertinggi di sana. Menurut data, penyakit yang sering terjadi
di masyarakat Kepulauan Mentawai antara lain demam, malaria,
gastritis, diare, sakit kepala, ngilu tulang, dan infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA). Dengan demikian pemerintah dapat menanggulangi
dan menangani ppenyakit ini missal dengan melakukan penyuluhan dan
sosialisasi kepada masyarakat agar waspada terhadap faktor-faktor
risiko apa saja yang dapat menyebabkan penyakit tersebut. Pemerintah
juga dapat menyediakan jumlah pasokan obat yang lebih untuk Puskesmas
setempat untuk dapat mengobati warga yang terkena penyakit.

Pada penelitian juga didapatkan fakta bahwa komunikasi pemerintah
setempat ternyata kurang mengakomodasi seluruh elemen yang terkait
Pemerintah sebenarnya dapat mengumpulkan seluruh stake holder terkait
di Kepulauan Mentawai seperti kepala desa, kepala puskesmas, perangkat
desa, LSM terlibat, hingga tokoh masyarakat untuk memusyawarahkan
kebijakan yang mendukung program pelayanan kesehatan tersebut. Dengan
demikian semua maksud, tujuan, dan keinginan dari semua pihak dapat
terakomodir dan dapat pula menyatukan visi misi antar belah pihak.

Dalam penanganan pada kasus ini sebenarnya juga dapat dibantu dengan
melaksanakan program pemberdayaan masyarakat setempat. Dapat dilatih
kader-kader kesehatan yang membantu memajukan tingkat kesehatan di
sana. Mengingat keterbatasan akses menuju pelayanan kesehatan yang
memadai, diharapkan para kader dapat berperan aktif untuk membantu
menyelesaikan permasalahan kesehatan warga-warga terdekatnya, yang
tentunya telah mendapatkan pelatihan yang memadai dari tenaga medis
terkait.

Di Kepulauan Mentawai ini dikektahui bahwa pemerintahnya kurang
mengkoordinasikan dengan baik peran LSM yang telah bersedia datang
untuk membantu. Dalam hal ini menurut saya pemerintah juga dapat
melakukan sinkronisasi pelayanan kesehatan dengan LSM yang membantu
menyediakan akses dan ketersediaan pelayanan kesehatan itu sendiri.
Pemerintah dapat membagi tugas beberapa LSM yang telah bersedia
membantu untuk dapat disebar merata wilayahhnya dan juga memastikan
kebutuhan warga dibutuhkan untuk pengadaan oleh LSM agar benar-benar
tepat sasaran.

Hal yang tidak kalah penting adalah menunjang kesejahteraan tenaga
kesehatan, dokter internship atau dokter PTT, dan tenaga medis
lainnya. Pemerintah dapat menaikkan tunjangan dan menyediakan
fasilitas kepada para tenaga medis yang setara dengan apa yang telah
dilakukannya. Hal ini telah menjadi momok karena stigma-stigma yang
telah menempel pada tenaga kesehatan bahwa penghargaan untuk mengabdi
di wilayah terpencil tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah
dilakukan. Sesuai pada kebutuhan dasar hidup seorang individu, apabila
kesejahteraan yang diberikan telah memadai maka diharapkan
pemaksimalan kinerja juga akan muncul dari tenaga-tenaga kesehatan
yang sangat dibutuhkan warga KAT di Kepulauan Mentawai.





Hanifiya Samha Wardhani
Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada

Wednesday, July 27, 2016

Not-On-Tobacco (NOT) Program

Berdasarkan data dari depkes.go.id, hampir 80% perokok mulai merokok saat usianya belum mencapai 19 tahun. Hasil Riskedas tahun 2007, 2010, 2013 trend usia merokok meningkat pada usia remaja, umur 10-14 tahun dan 15-19 tahun, dan usia merokok paling tinggi pada usia 15-19 tahun. Selain itu, Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan angka perokok remaja tertinggi di dunia, berdasarkan GYTS 2014, sebagian besar laki-laki pertama kali merokok pada usia 12-13 tahun dan perempuan pada usia <7 tahun dan 14-15 tahun. Didapatkan pula data dari Amerika bahwa, 9 dari 10 perokok memulai merokoknya pada usia 18 tahun dan setiap harinya, 3200 remaja berusia 18 tahun atau dibawahnya memulai merokok untuk pertama kalinya dan 2100 remaja menjadi perokok rutin.

Dari data-data tersebut, terdapat beberapa faktor penyebab banyaknya perokok pada usia remaja.
Seperti iklan-iklan yang ada dimedia masa, remaja menganggap bahwa rokok merupakan sebagai indikator level pergaulan, pengaruh dari orang tua yang merokok, sebagai mekanisme coping saat merasa stres/depresi, akademik yang buruk, status ekonomi yang rendah, dan remaja lebih sensitif terhadap nikotin sehingga lebih mudah ketergantungan.

Karena meningkatnya perokok pada remaja dan hasil pencegahan merokok pada remaja tidak terlalu menurunkan secara signifikan, American Lung Association (ALA) dan Universitas West Virginia menciptakan program NOT atau Not on Tobacco. Program ini bertujuan untuk membantu para remaja untuk berhenti merokok. Program NOT dilakukan dalam suatu grup dengan peserta berusia 14-19 tahun yang merupakan perokok aktif dan berkeinginan untuk berhenti. Program ini dilakukan selama 10 minggu dengan durasi 50 menit setiap pertemuan dan 4 kali booster, biasanya dapat dilakukan di sekolah dan selama jam sekolah, dapat pula dilakukan di komunitas. Satu grup berisi 10-12 remaja dan dibimbing oleh fasilitator (guru, perawat, relawan, dll yang memenuhi kriteria dan sudah ditraining).

Dalam program ini membahas topik-topik tentang motivasi, manajemen stres, efek dari merokok, mempersiapkan diri untuk berhenti merokok, pencegahan kekambuhan, media awareness, dan gaya hidup sehat. Program ini sendiri, memiliki 4 tujuan utama, yaitu (1) membantu remaja untuk berhenti merokok, (2) jika sulit untuk berhenti, setidaknya mengurangi jumlah batang rokok yang dikonsumsi, (3) meningkatkan gaya hidup sehat, (4) mengembangkan mekanisme coping, manajemen stres, keterampilan interpersonal, dan pengambilan keputusan. Di Amerika, program NOT ini cukup memberikan hasil yang signifikan dalam peningkatan jumlah remaja yang berhenti merokok baik remaja laki-laki maupun perempuan.

Referensi:
1. http://rtips.cancer.gov/rtips/programDetails.do?programId=269048
2. http://www.cdc.gov/prc/pdf/not-on-tobacco-smoking-cessation.pdf
3. http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/fact_sheets/youth_data/tobacco_use/
4. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hari-tanpa-tembakau-sedunia.pdf

Kirantri Larasati


Menilai Efektivitas Program Pencegahan DHF pada Masyarakat


Swaddiwudhipong, W., Lerdlukanavonge, P., Khumklam, P., Koonchote, S., Nguntra, P., & Chaovakiratipong, C. (1992). A survey of knowledge, attitude and practice of the prevention of dengue hemorrhagic fever in an urban community of Thailand. Shock, 5, 1-2.
 
    Jurnal ini melakukan penelitian di Tak Provice. Tak provice merupakan daerah dengan severe epidemic DHF di Thailand, setiap 2-3 tahun  terjadi outbrake DHF dengan angka kejadian 892 kasus per 100.000 pada tahun 1987. Sejak tahun 1988 thailand membuat sebuah program pencegahan DHF melalui media masa, kuliah dan diskusi. Dilakukan pelatihan pada tenaga kesehatan lalu mereka melakukan kunjungan kerumah warga sebanyak dua kali setahun dan memberikan penyuluhan DHF.
       Penelitian dilakukan pada 1990 untuk mengevaluasi atau survey bagaimana pengetahuan, tingka laku dan praktek yang dilakukan masyarakat dalam pencegahan demam berdarah setelah mereka mendapatkan program pencegahan DHF. Subjek penelitian di pilih secara acak dan didapatkan 417 subjek (382 subjek sebagai housewives). Dari survey yang dilakukan didapatkan hasil bahwa program pencegahan DBD (Aedes Control Program) lebih efektif jika dilakukan penyuluhan (edukasi) dan visit secara langsung oleh tenaga kesehatan. Masyarakat membutuhkan edukasi untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi pada pencegahan dan kontrol penyakit. Selain itu radio dan televise merupakan media yang cukup efektif dalam memberikan edukasi DHF terutama pada urban areas.
      Jurnal ini juga mengatakan bahwa ibu rumah tangga merupakan salah satu kunci dalam pencegahan DHF sehingga ibu rumah tangga harus diberikan edukasi yang karena mereka adalah orang yang akan memanejemn sebuah rumah untuk terhindar dari suatu penyakit.

 
   

Referensi

Novita Sari