"One-third of Australians live in remote and outer regional areas."
Kalimat di atas yang berhasil membuat saya tertarik untuk mengulas
laporan jurnal ini. Coba perhatikan kembali peta Australia di atas dan makna warnanya.
Yang terbayang pada pikiran saya, Austalia
adalah sebuah benua dengan seluruh Negara yang sudah maju dan tentu
saja adi daya. Ternyata terdapat fakta bahwa satu per tiga kawasannya
masih tergolong pedalaman dan terpencil atau pada istilah kita disebut
dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT), seperti tulisan yang telah saya
ulas sebelumnya. Hal ini menjadi menarik untuk kita tilik lebih dalam
bagaimana Autralia menangani masyarakat KAT-nya dan juga sedikit
membandingkan dengan Negara kita Indonesia yang letak geografisnya
tidak jauh dari sana.
Meskipun penduduk Australia terus tumbuh, daerah terpencil dan
pedesaan tumbuh pada tingkat yang lebih lambat dari rata-rata nasional
1,6%. Suku Aborigin dan Torres Strait Islander menjadi 24% dari
populasi di daerah terpencil tersebut. Daerah pedalaman Australia
umumnya memiliki kesehatan yang lebih buruk daripada orang di kota.
Fakta-fakta pada masyarakat pedalaman dan terpencil Australia adalah
sebagai berikut; (1) cenderung memiliki harapan hidup yang lebih
pendek, dan lebih berisiko untuk terkena suat penyakit; (2) memiliki
status kesehatan yang lebih buruk dan angkanya terus meningkat
berbanding lurus dengan tingkat keterpencilan, bahkan menjadi lebih
buruk bagi orang-orang Aborigin dan Torres Strait Islander; (3)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kecelakaan; (4) lebih tinggi
kemungkinannya untuk terkena penyakit kronis tertentu dan kanker
karena terkait erat dengan paparan sinar matahari atau rokok; (5)
perawatan medis yang terbatas. Dari lima hal ini dapat kita simpulkan
bahwa fakta pada dampak keterpencilan masyarakat ini sama masalahnya
yang dihadapi di Indonesia.
Seperti yang telah disampaikan Dr. dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA pada
mentoring yang lalu, bahwa tidak ada program 'one size fits all' yang
dapat melayani kebutuhan kesehatan masyarakat terpencil dan pedesaan
secara beragam. Program layanan harus spesifik dan efektif tepat
sasaran. Sama halnya dengan Australia, pemerintah setempat telah
menerapkan program-program yang sedemikan rupa utntuk menyesuaikan
dengan kondisi masayarat KAT di sana. Program yang telah dirancang
antara lain; (1) program regional yang dirancang untuk memaksimalkan
akses ke perawatan kesehatan primer yang komprehensif yang sesuai; (2)
pembiayaan dan sumber daya diatur secara independen dari ketersediaan
tenaga kerja; (3) jaringan layanan perawatan kesehatan primer dengan
layanan fokus pada promosi kesehatan dan intervensi dini; (4)
menguatkan tim multidisiplin dengan spesialisasi bidang masing-masing,
misalnya, dokter spesialis, bidan, bersekutu kesehatan, farmasi dan
pelayanan kesehatan gigi mulut yang mempertahankan pelayanan kesehatan
yang mumpuni; (5) adanya sistem rujukan dan saran jaringan bagi para
praktisi terpencil dan pedesaan yang mendukung sehingga dapat
meningkatkan kualitas perawatan (6) infrastruktur yang memadai untuk
mendukung tenaga kerja medis dan kesehatan yang sesuai; (7) adanya
mekanisme untuk memantau kemajuan terhadap indikator dan target yang
disepakati, memastikan kualitas dan akuntabilitas untuk semua pemain;
(8) keterlibatan masyarakat.
Terdapat program-program lain yang menurut saya unik, yaitu layanan
'telehealth', komunikasi dan konsultasi antar praktisi melalui
teleradiologi. Selain itu juga ada program 'on-call', praktisi dapat
ditelepon dan diakses melalui sebuah web di internet untuk konsultasi
24 jam apabila terjadi hal yang mendesak. Sistem ini dikelola oleh
praktisi medis dari jarak jauh. Program ini menurut saya simple dan
dapat mempermudah, teteapi apabila diterapkan di Indonesia rasanya
akan menemui suatu hambatan, karena belum di seluruh kawasan
Indonesia, apalagi di daerah pedalamannya terjangkau akses sinyal
telepon dan internet.
Tidak kalah penting, program lainnya yang dirancang pemerintahan
Australia adalah menempatkan para sarjana pendidikan profesional dan
pascasarjana di semua disiplin ilmu untuk dialokasikan di pusat-pusat
regional terpencil dan pedesaan untuk pengembangan daerah. Hal ini
telah dilaksanakan pula oleh Indonesia melalui program internship dan
PTT untuk dokter umum.
Program-program tersebut, menurut saya sudah tergolong efektif karena
telah tepat sasaran kepada masyarakat KAT di Australia dan dari review
laporan jurnal yang tercantum, diaktakan terdapat peningkatan status
kesehatan masyarakat KAT dari tahun ke tahunnya.
Dengan latar belakang kondisi masyarakat KAT yang sama antara
Australia dan Indonesia, menurut saya banyak programnya yang dapat
kita ambil contoh untuk memajukan masyarakat KAT Indonesia, khususnya
di Kepulauan Mentawai yang telah saya bahas di tulisan sebelumnya yang
mengalami beberapa kendala dalam penanganannya.
Hanifiya Samha Wardhani
Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada